Layaknya Atlet Sepakbola, Perebutan Peneliti AI Makin Panas: Gaji Tembus Rp328 Miliar

  • Bagikan

KATARAKJAT.COM,AS–Persaingan menguasai kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Silicon Valley, California, Amerika Serikat, kini bergeser ke medan baru. Memperebutkan para peneliti top.

Sejak peluncuran ChatGPT pada akhir 2022, perekrutan peneliti AI berlangsung layaknya transfer atlet profesional. Belasan sumber yang terlibat dalam perekrutan mengatakan kepada Reuters, perusahaan berlomba menarik dan mempertahankan talenta terbaik dengan tawaran fantastis.

“Laboratorium AI merekrut seperti bermain catur,” kata Ariel Herbert-Voss, CEO perusahaan rintisan keamanan siber RunSybil sekaligus mantan peneliti OpenAI, seperti dilansir Reuters, Rabu 21 Mei 2025.

Ia ikut masuk ke tengah persaingan ini setelah mendirikan perusahaannya sendiri.

“Mereka ingin bergerak secepat mungkin. Jadi mereka bersedia membayar mahal untuk kandidat dengan keahlian khusus, seperti dalam permainan: apakah saya sudah punya cukup benteng? Cukup ksatria?”

Perusahaan seperti OpenAI dan Google kini memburu para kontributor individu, atau individual contributors (IC), yang diyakini bisa menentukan hidup-matinya sebuah proyek AI.

Noam Brown, peneliti di balik terobosan terbaru OpenAI dalam penalaran matematika dan sains kompleks, mengaku sempat didekati para elite teknologi saat menjajaki peluang kerja tahun 2023.

Ia diundang makan siang oleh pendiri Google Sergey Brin, bermain poker di rumah CEO OpenAI Sam Altman, hingga dijemput menggunakan jet pribadi oleh investor yang antusias.

Dua sumber juga menyebut Elon Musk langsung menelepon kandidat yang masuk radar perusahaannya, xAI.

Brown akhirnya memilih bertahan di OpenAI karena tertarik pada komitmen perusahaan menyediakan sumber daya manusia dan komputasi untuk proyek yang ia minati.

“Itu sebenarnya bukan pilihan terbaik secara finansial yang saya miliki,” ujarnya. Menurutnya, gaji besar bukanlah faktor utama bagi sebagian peneliti.

Namun, tujuh sumber mengatakan kepada Reuters, perusahaan tetap berlomba menawarkan jutaan dolar dalam bentuk bonus dan paket gaji untuk para peneliti bintang.

Dua sumber menyebut, sejumlah peneliti senior OpenAI yang sempat dilirik perusahaan baru buatan mantan Kepala Ilmuwan Ilya Sutskever, yakni Safe Superintelligence (SSI), ditawari bonus retensi sebesar $2 juta (sekitar Rp 32,8 miliar) dan peningkatan ekuitas lebih dari $20 juta (sekitar Rp 328 miliar) agar tetap bertahan.

Mereka cukup bertahan satu tahun untuk mendapat seluruh bonus itu. SSI dan OpenAI menolak berkomentar.

Dua sumber lain mengatakan, beberapa peneliti OpenAI yang mendapat tawaran dari Eleven Labs akhirnya menerima bonus minimal $1 juta (sekitar Rp 16,4 miliar) untuk tetap tinggal.

Para peneliti teratas di OpenAI disebut rutin menerima total kompensasi lebih dari $10 juta (sekitar Rp 164 miliar) per tahun.

Google DeepMind pun tak mau ketinggalan. Menurut sumber Reuters, mereka menawarkan gaji hingga $20 juta (sekitar Rp328 miliar) per tahun kepada peneliti top, lengkap dengan hibah saham di luar siklus normal dan periode vesting yang dipersingkat dari empat tahun menjadi tiga tahun.
Google menolak berkomentar.

Sebagai perbandingan, teknisi senior di perusahaan teknologi besar umumnya menerima gaji tahunan sekitar $281.000 (sekitar Rp4,6 miliar) dan saham senilai $261.000 (sekitar Rp4,3 miliar), menurut data dari Comprehensive.io, perusahaan pemantau kompensasi di industri teknologi.

Peneliti 10.000 Kali Lebih Bernilai

Bakat memang selalu jadi rebutan di Silicon Valley. Namun, yang membedakan era AI saat ini adalah sempitnya jumlah orang dalam kelompok elite ini. Delapan sumber memperkirakan, jumlahnya hanya puluhan hingga sekitar seribu orang.

Mereka dianggap telah berkontribusi besar terhadap pengembangan large language model (LLM), teknologi dasar dari ledakan AI saat ini. Keberhasilan atau kegagalan sebuah model AI bisa sangat ditentukan oleh kehadiran mereka.

“Tentu saja insinyur 10x itu keren, tetapi celakalah insinyur/peneliti 10.000x itu…,” tulis CEO OpenAI Sam Altman di akhir 2023. Ia merujuk pada anggapan lama bahwa insinyur hebat 10 kali lebih baik dari rata-rata (10x engineer), namun di era AI, ada peneliti yang 10.000 kali lebih berdampak.

Kepergian Mira Murati dari OpenAI pada September lalu turut memperkeruh perang bakat ini. Ia dikenal sebagai eksekutor ulung dan manajer andal di OpenAI.

Setelah keluar, Murati mendirikan startup AI saingan. Sebelum mengumumkan perusahaannya pada Februari, ia sudah memboyong sekitar 20 karyawan OpenAI.

Kini, timnya telah tumbuh menjadi sekitar 60 orang. Meski belum punya produk di pasar, startup tersebut disebut sedang menutup putaran pendanaan awal dengan nilai rekor, berkat kekuatan timnya. Juru bicara Murati menolak berkomentar.

Rekrutmen Gaya “Moneyball”

Langkanya talenta memaksa perusahaan memikirkan strategi perekrutan yang lebih kreatif.

Zeki Data, firma yang fokus mengidentifikasi bakat AI, menerapkan pendekatan seperti dalam film Moneyball—menggunakan analisis data ala industri olahraga untuk mencari talenta tersembunyi.

Zeki Data, misalnya, menemukan bahwa Anthropic merekrut peneliti berlatar belakang fisika teoretis. Beberapa perusahaan AI lain juga menjaring kandidat dari dunia komputasi kuantum. Anthropic tidak menanggapi permintaan komentar.

“Di tim saya, saya punya matematikawan sangat berbakat yang takkan masuk ke bidang ini jika bukan karena kemajuan cepat AI sekarang,” ujar Sébastien Bubeck. Ia meninggalkan posisinya sebagai wakil presiden riset di Microsoft tahun lalu untuk bergabung dengan OpenAI.

“Kita sekarang melihat masuknya bakat dari berbagai bidang ke dunia AI. Dan sebagian dari mereka benar-benar jenius. Mereka membuat perbedaan besar.”(*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *